Pekan Spiritualitas 2008

Pekan Spiritualitas 2008

Kamis, 10 Januari 2008

Doa dan harapan dari Seko

Doa dan harapan dari Seko

Seko merupakan satu kecamatan di Kabupaten Luwu utara dimana wilayahnya sangat terpencil yang didiami oleh sub-suku Toraja, di bagian Barat berbatasan langsung dengan Mamuju di Sulawesi Barat, dan di Utara berbatasan dengan Sulawesi Tengah. Secara garis besar Seko bisa dibagi kedalam 3 bagian yakni: Seko Lemo, Seko Tengah dan Seko Padang. Dari segi pemerintahan Kecamatan Seko terdiri dari 12 Desa. Jarak tempuh dari Sabbang menuju Seko mencapai 125 km. Potensi sumber daya alam sangat mendukung dengan potensi hutan yang sangat luas, hal ini sekaligus menempatkan Seko sebagai daerah penyanggah dan menara air bagi Kab. Luwu Utara, Tana Toraja, terutama Mamuju di Sulawesi Barat. Sementara itu komoditi pertanian yang menjadi andalan adalah kopi arabika, padi, dan kakao. Namun karena sarana jalan yang sangat tidak mendukung sehingga potensi tersebut belum dapat dimaksimalkan.
Dalam rangka membagi Alkitab yang merupakan sumbangan dari beberapa donatur yang dikoordinir oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) mengunjungi Seko dan Rongkong kabupaten Luwu untuk membagi Alkitab sebanyak 5.000 eksampelar.
Dalam rombongan tersebut ada: Pdt. Santoni, M.Th dari KGI, Sukanto Aliwinoto pengusaha yang juga anggota jemaat GKI Guntur Bandung, Erna Yulianawaty, S.Th dan Hendrik dari Biro Informasi LAI Jakarta, Ny. D. Ambabunga (Kepala Perwakilan LAI Makassar) Pdt. Daniel Kalambo (mantan pendeta tentara yang merupakan putra pertama orang Seko yang diurapi menjadi pendeta di lingkungan Gereja Toraja dan Aleksander Mangoting dari Biro Informasi dan Komunikasi Gereja Toraja.
Sukanto dan Pdt. Santoni mengungkapkan bahwa sepanjang perjalanan dan pengalaman mengunjungi berbagai daerah terpencil di tana air dalam rangka memberikan bantuan, perjalanan Sekolah yang memberikan pengalaman yang luar biasa. Perjalanan ini merupakan perjalanan penuh doa dan pengharapan. Jadi Doa dan Pengharapan dua kata yang akan senantiasa terpatri dalam ingatan ketika menyebut Seko.
Lokasi penyerahan Alkitab adalah: Klasis Seko Padang di Eno dihadiri sekitar 300 orang lebih terdiri dari berbagai denomiasi Gereja (Gereja Toraja, Gereja Protestan Indonesia Luwu, Gereja Setia, Gereja Pantekosta), Seko Tengah di Jemaat Pongkapahang dihadiri 300 lebih anggota jemaat, Seko Lemo di Jemaat Rante Danga dan di Jemaat Kanan Dede untuk jemaat-jemaat yang ada di Rongkong.
Salah satu kegiatan LAI adalah bantuan Alkitab ke daerah terpencil yang dikelola dalam bentuk program “Satu Dalam Kasih”. Program ini amat bermanfaat secara khusus bagi daerah terpencil yang sangat sulit mendapatkan Alkitab. Berdasarkan program ini, maka kami mengadakan komunikasi dengan pihak LAI untuk membantu dalam rangka penyaluran Alkitab ke Seko dan Rongkong.
1. Berangkat dari Toraja menuju ke Masamba mengurus buku-buku Sekolah Minggu tanggal 25 Oktober 2007.
2. Pagi tanggal 26 Oktober 2007 berangkat dari Sabbang menuju ke Mabusa. Tukang ojek bermalam di Mabusa sedangkan kami jalan kaki dari Mabusa ke Se’pon.
3. Pagi tanggal 27 Oktober 2007 berangkat ke Rante Danga’ jalan kaki dan tiba sore harinya kemudian kami bermalam. Pembukaan peringatan 42 tahun kembalinya orang Seko dari pengungsian.
4. Pagi tanggal 28 Oktober 2007 berangkat ke Seko Tengah untuk mengecek persiapan penyerahan Alkitab. Tiba di Jemaat Pokkapahang jam 09.00 dan diberi kesempatan untuk menyampaikan meteri pembinaan sebelum ibadah. Sesudah ibadah melanjutkan perjalanan ke Seko Padang.
5. Tanggal 29 Oktober 2007 mengecek persiapan penyerahan Alkitab dan siang ceramah di SMA Seko diikuti seluruh anak SMA yang jumlahnya lebih seratus orang. Malamnya ceramah dan diskusi dengan warga Jemaat Eno.
6. Tanggal 30 Oktober 2007 menjemput rombongan LAI dan sore hari ibadah penyerahan Alkitab. Malamnya disambung dengan pembinaan dan diskusi diikuti oleh seluruh warga Jemaat se Seko Padang yang datang mengikuti ibadah syukur penyerahan Alkitab.
7. Tanggal 31 Oktober 2007 berangkat ke Seko Tengah. Siang ibadah penyerahan Alkitab di jemaat Pokkapahaang.
8. Tanggal 1 Nopember 2007 berangkat ke Seko Lemo di Jemaat Rante Danga. Ibadah syukur penyerahan Alkitab dilaksanakan sore hari di jemaat Rante Danga kemudian disambung dengan ceramah dan diskusi sampai jam 20.00.
9. Tanggal 2 Nopember 2007 berangkat ke Kanandede lewat Mabusa dan bermalam di Kawalean, Limbong.
10. Tanggal 3 Nopember 2007 meneruskan perjalanan ke Kanandede dan ibadah penyerahan Alkitab di Kanandede. Sesudah ibadah penyerahan Alkitab dilaksanakan pembinaan dan diskusi dengan majelis Gereja.
11. Tanggal 4 Nopember 2007 kembali ke Toraja.

Angkutan
Biaya sekali jalan untuk bagi ojek khusus untuk membayar jemabatan sekitar Rp. 60.000,-. Jembatan pertama di Mongkaluku tarifnya Rp. 10.000,- sekali lewat. Kemudian sejumlah jemabatan lainnya hingga Lodang. Paling tidak ada 5 kali setor dengan biaya bervariasi. Hal ini disebabkan masyarakat sendiri yang berinisiatif membangun dan bertanggungjawab memelihara jembatan tersebut sehingga ojek dapat melaluinya.
Jarak Sabbang - Eno (Seko Padang) lewat KTT adalah sekitar 75 km. Ruas jalan yang paling parah adalah antara Lodang - Eno, secara khusus pada saat 1 km meninggalkan Lodang dengan jarak sekitar 2 km jalan berlumpur dan kadang kala motor harus diangkat 4 orang ditengah lumpur. Biaya ojek ke Seko Padang Rp. 700.000,- PP dan kalau musim kemarau Rp. 500.000,-. Sedangkan yang ke Seko Tengah Rp. 1.000.000,- PP.
Masyarakat pada umumnya memakai kuda untuk angkuta barang dan juga ojek. Kalau naik kuda maka Seko - Sabbang ditempuh dalam waktu 3 hari 2 malam. Jadi tidak heran kalau kita menemukan dci tengah hutan ada kerangka untuk pasang tenda. Ini memang sudah lumrah dimana orang membawah tenda lengkap dengan belanga dan bekal makanan yang akan dimasak kalau sudah malam. Jadi memasang tenda di beberapa tempat kalau sudah malam itu sudah hal biasa.
Dari seko membawah kopi atau beras. Kalau kembali akan membawah berbagai kebutuhan seperti garam, minjak tanah, kehutuhan dapur hingga antena parabola atau peralatan elektronik lainnya.
Selain itu, beberapa tahun yang lalu ada penerbangan setiap hari kamis dan Selasa dengan kapasitas 5 orang dari Sabbang ke Seko Padang dengan biaya Rp. 110.000,- dan ditempuh dalam 20 menit. Tetapi sekarang sudah tidak ada karena ada inspeksi dan peangguhan terbang bagi pesawat yang sudah tua.

Jalanan koboy
Sebenarnya jalanan ke Seko lewat jalan rintisan PT KTT sebuah HPH yang pernah beroperasi menjarah huran di daerah ini tidak layak untuk dikatakan jalan. Persoalannya harus melewati sungai, jembatan laba-laba dengan satu papan dengan panjang bentangan 30 meter, lorong hutan dengan jalur ban motor 60 cm, tanjakan yang tidak dapat didaki oleh motor yang memakai gir standar (walaupun baru keluar dari dealer), batu-batu kerikil yang tajan dan besar.
Jadi setiap tukang ojek perlu memiliki keterampilan memperbaiki motor, nyali untuk berhadapan dengan maut karena banyaknya jurang, kemampuan untuk mendaki gunung dan berjalan di jalur tikus - bahkan terkadang harus mencari “jalan sendiri” karena jalur yang ada rusak.
Begitu juga penumpangnya perlu memeriksakan jantungnya, kalau ada gangguan jantung jangan naik ojek lewat PT KTT, penakut, tidak siap mental, dan juga siap untuk membantu mendorong atau mengangkat motor.

Dua kilometer ditempuh 2 jam
Salah satu ruas jalan terparah adalah 10 km sedudah meninggalkan Eno, atau satu kilometer sebelum Lodang. Panjang jalur itu sekitar 2 km dikiri dan kanan sawah. Jalannya belumpur dimusim hujan bahkan sampai 60 cm. Di lokasi ini motor terkadang harus diangkat 4 orang baru bida lewati tiap tahapan. Jadi tukang ojek harus berjalan berombongan supaya dapat saling membantu.

Bengkel berjalan
Dengan kondisi jalan yang demikian, maka tenaga para tukang ojek akan terkuras. Belum lagi kampas motor akan habis. Makanya kalau jalan, perlengkapan suku cadang seperti ban dalam, kampas rem, taling kopling, tromol, gir harus selalu siap disamping kunci dan obeng untuk memperbaiki motor di jalan. Kalau tidak, jangan coba-coba jalan.
Jadi para tukang ojek yang melintasi jalan ini, harus berjalan berombongan dan mampu memperbaiki motornya kalau ada kerusakan. Untuk itulah, tukang ojek juga harus merangkap bengkel berjalan.

Berapa kali jatuh?
Salah satu pertanyaan yang cukup penting kalau naik ojek ke Seko utamanya kalau lewat jalan PT KTT di musim hujan adalah “anda” berapa kali jatuh?. Hal ini disebabkan medan yang cukup menantang. Bahkan kalau untuk pertama kali melewati dan melihat kondisi jalan pasti kita akan mengatakan: “Bagaimana mungkin motor dapat melewatinya?”.

Gadis Bana
Salah satu jemaat yang cukup jauh dan berada di pinggir hutan adalah Jemaat Bana. Warganya sebagian baru pada tahun 90 an keluar dari hutan akibat DI/TII sehingga ada satu generasi yang lahir di hutan. Disini kami menyaksikan bagaimana kehidupan warga jemaat dan masyarakat yang sudah cukup modern. Sudah ada antena parabola, listrik dengan memakai turbin, bahkan yang tak kalah ialah penampilan para gadis dusun ini dengan gadis kota pada umumnya.

Klasis Seko Padang
BPK Seko Padang terdiri dari 11 Jemaat yaitu: Parahaleang = 15 km, Lengkong Pantoroang 22 km, Lore 13 km, Singkalong 10 km, Bana 9 km, Lisu Padang, Bone = 4 km, Tanete = 4 km, Kalammio 7 km.
Dalam kehidupan berjemaat, masih disarakan perlunya pembinaan dalam berbagai hal. Mulai dari segi pemahaman organisasi, pengelolaan keuangan, penataan pelayanan, tugas dan tanggungjawab selaku Majelis Gereja. Belum lagi soal pemberlakukan aturan-aturan kehidupan berjemaat dan bagaimana membangun relasi/komunikasi dengan sesama masyarakat sekitarnya. Hal ini nyata dari ungkapan pertanyaan dan persoalan lapangan yang ada ketika diadakan pembinaan se Klasis Seko Padang di Eno yang dihadiri para Majelis Gereja.

Pendidikan
Drs. Tahir Bethony mengurus SMP PGI di Eno kemudian diurus dan menjadi negeri pada tahun 2004. Kemudian pada tahun 2005 mengurus SMA PGRI menjadi negeri pada tahun 2006. Saat ini SMA Seko memiliki 97 siswa. Namun anak Seko Padang hanya 11 orang. Paling banyak dari Seko Lemo kemudian Seko Tengah. Selain itu, ada 3 SMP di Seko yaitu di Seko Lemo, Seko Tengah dan Seko Padang.
Tahir Bethony, dalam masa tuanya menjelang pensiun, mau kembali ke kampung halamannya, hanya dimotivasi karena sangat prihatin tentang generasi muda masyarakat Seko. Jadi pulang mengabdi ke kampung halaman. Berbagai keprihatinan diungkapkan melihat persoalan di lapangan di kaitkan dengan kepampuan daya saing generasi muda untuk masa depan.

Masyarakat kerja bakti membuat jalan
Salah satu bentuk kerjasama masyarakat adalah kerjabakti satu kali setiap bulan memperbaiki jalanan antar kampung. Ini salah satu sumbangan nyata masyarakat untuk kepentingan bersama. Persoalan sekarang adalah bagaimana caranya pemerintah membangun poros jalan utama dari Sabbang - Rongkong - Mabusa - Seko Lemo - Seko Tengah dan sampai ke Seko Padang dimana ada ibu kota kecamatan.

Potensi yang masih tidur
Kalau melihat potensi daerah, maka kita akan kagum. Tanahnya subur, airnya yang tak pernah berhenti mengalir di sungai. Bahkan ada kandang kerbau yang kami kunjungi dan induk kerbaunya sekitar 50 ekor. Bahkan menurut informasi, ada keluarga lain yang memiliki induk kerbau sampai 100 ekor. Ada tukang membuat sofa dimana satu pasang sofa ditukar dengan satu ekor kerbau.

Perlu keterampilan
Bagi sebagian besar generasi muda Seko, secara khusus yang ada di Tanete, jangan berkecil hati kalau tidak dapat melanjutkan pendidikan, tetapi yang paling penting ialah bagaimana membangun Seko masa depan dengan keterampilan yang ada. Diperlukan tenaga terampil untuk menjadi tukang jahit pakaian, terampil menanam sayur mayur, terampil mengelola kebun kopi, terampil mengembangkan potensi yang ada. Demikian diungkapkan Aleksander Mangoting ketika salah seorang pemuda di Tanete yang mengungkapkan rasa pesimis karena tidak dapat melanjutkan pendidikannya.

Sudah modern?
Apa yang terbayang dipikiran sebelum sampai ke Seko tidak sesuai dengan kenyataan. Di Seko sudah ada begitu banyak antena Parabola + televisi, penggilingan beras, dross, generator skala kecil, motor untuk ojek mungikin sudah angka seratus lebih, peralatan yang cukup modern di setiap rumah, dan berbagai simbol kemodernan lainnya. Bahkan kalau kita tiba di satu tempat seperti di Eno dan Tanete, Bana, maka kita akan kagum oleh penataan rumah dimana ditengahnya lapangan kemudian dikelilingi oleh rumah.

Perbandingan harga
Semen satu sak di Seko Rp. 250.000,-, bensin Rp. 9.500,-, beras Seko Rp. 2.500 - 3.000,-, minjak tanah Rp. 6.000,-, Gula pasir satu liter kualitas nomor 2 Rp. 10.000,-, ikan kering mairo Rp. 10.000,-/liter.

Prioritas jalan ?
Salah satu putra Seko yang peduli masalah Seko lewat Yayasan Ina Seko adalah Pdt. Dr. Zakaria J. Ngelow yang sejak beberapas waktu lalu, dengan terbuka mengungkapkan bahwa untuk masyarakat Seko prioritas adalah soal ekonomi dan pemahaman tentang hak-haknya selaku masyarakat bagian dari Indonesia. Mereka perlu memahami tentang politik, kedaulatan mereka. Persoalan, kalau terlalu cepat ada jalan untuk akses, dikuatirkan orang lain masuk untuk memanfaatkan potensi bahkan akan membuat masyarakat Seko menjual sebagian tanah mereka.
Jadi dari sudut pandang Ngelow, jalanan bukanlah prioritas utama, tetapi yang paling utama adalah pendampingan bagi masyarakat Seko untuk meningatkan ekonomi, memahami hak dan kewajibannya.

Perlu pendampingan?
Kalau melihat segi potensi yang ada serta kemampuan masyarakat, maka menurut kami, yang diperlukan masyarakat Seko adalah soal pendampingan dalam rangka pembangunan di bidang pembangunan dan usaha-usaha di bidang pertanian dan peternakan. Selain itu, dibutuhkan penyadaran dalam soal kehidupan bersama, kemampuan untuk dapat menerima kemajuan dan juga dapat memanfaatkan kemajuan, masalah lingkungan hidup, penguatan organisasi masyarakat dan beberapa kebutuhan lain sesuai konteks masyarakat setempat.
Jadi untuk masyarakat Seko ke depan diperlukan perdampingan yang tidak hanya sekedar datang dan membina beberapa hari, tetapi memerlukan penanganan yang terus menerus, sehingga diperlukan tenaga pendamping yang tinggal dengan mereka yang akan merencanakan pembinaan bersama-sama dengan masyarakat dan juga memberikan masukan-masukan secara terus menerus.
Kalau ada orang yang mau mendapingi masyarakat Seko maka diperlukan jiwa sosial, empati kepada mereka, masuk ke dalam kehidupan masyarakat Seko sambil melihat masa depan yang lebih baik.

Potensi
Dengan melihat kondisi didaerah Seko sebenarnya daerah tersebut memiliki potensi untuk bisa meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat. Hal ini didasari pada lahan yang subur, ada komoditi khas yakni kopi arabika, kakao, dan padi selain keterampilan pembuatan tikar Seko dan tempat nasi dari anyaman (Kapipe). Hal ini menjadi kekuatan untuk dipasarkan selain potensi dan kekuatan sumber daya manusia yang tersebar diluar Seko maupun didalam Seko yang terus menerus membenahi diri dan berkemauan untuk membangun tanah leluhur.

Ceramah dan Diskusi dengan Pokok sebagai berikut:

• Masalah kehidupan generasi muda yang mengarah ke konsumerisme, kurangnya kerja keras.
• Sistem kehidupan yang kurang bersyukur kepada Tuhan atas karunia yang Tuhan berikan.
• Perlu perubahan pola pikir masyarakat di dalam membangun rasa tanggungjawab dan tidak bermental meminta-minta.
• Manajemen pelayanan yang belum berjalan dengan baik.
• Program kerja untuk tingkat Jemaat yang belum memadai.
• Perlu membangun kebersamaan di Seko.
• Perlu penataan pelayanan yang lebih baik ke depan.
• Perlu pengembangan kehidupan ekonomi jemaat.
• Dibituhkan pelatihan, pendampingan di dalam rangka pengembangan masyarakat.

Pokok kegiatan ke depan:
Berdasarkan keadaan rill di lapangan, maka ke depan diperlukan berbagai kegiatan di dalam rangka meningkat pelayanan dan kehidupan ekonomi warga masyarakat. Untuk itu, ke depan diharapkan adanya pembinaan dan penyuluhan bagi masyarakat di daerah terisolasi seperti Seko semisal pembinaan dan penyuluhan dibidang peternakan dan pertanian, hal ini dipandang perlu karena dilatar belakangi oleh:

1. Kurangnya Pengetahuan dan Keterampilan di bidang pertanian.
2. Masih rendahnya kesadaran petani dalam memelihara tanaman/kebun.
3. Kurangnya Modal Usaha Petani dan sarana penunjang pemasaran hasil pertanian.
4. Lemahnya kelembagaan/organisasi Petani.
5. Kurangnya perhatian lembaga berwenang terhadap petani di daerah terpencil/terisolasi..
6. Diperlukan sebuah sentra atau semacam pusat informasi dalam rangka pengembangan masyarakat se kecamatan Seko.
7. Perlu pelatihan dan pembinaan berbagai soal kehidupan seperti: sistem pengelolaan keuangan jemaat, kesehatan, pertanian, dll.
8. Perlu konsolidasi diantara masyarakat Seko.

Pengembangan masyarakat:
Salah satu pokok penting dalam kunjungan kali ini adalah komitmen untuk bersama-sama memikirkan soal pendampingan dalam rangka pengembangan masyarakat di Seko. Sejak Agustus 2007 - Juni 2008 Yuliana Bittoen, mahasiswa praktik dari Studi Alkitab Pengembangan Pedesaan Indonesia yang membantu pelayanan secara khusus dalam soal keterampilan kehidupan di desa. Model pelayanan dalam rangka pengembangan ini akan ditindak lanjuti dan ditingkatkan ke depan. Hal ini masih memerlukan percakapan lebih jauh, termasuk dalam menyiapkan tenaga terampil. Sudah ada 2 (dua) pemuda Seko yang dikirim untuk studi pengembangan masyarakat dengan beasiswa penuh. Juga ada 8 orang yang dikirim studi untuk pelayanan anak. Kegiatan ini difasilitasi oleh Aleksander Mangoting.

Aleksander Mangoting

Catatan: Bahan ini sudah dimuat di Tabloid Tator.

1 komentar:

STAKN TORAJA mengatakan...

Terima kasih untuk berita Seko. Berikut catatan saya mengenai Seko dari perspektif ynag lain (selengkapnya lihat di website www.geocities.com/inazeko)

... dalam pemantauan kami, ada empat pokok masalah yang dihadapi seluruh masyarakat Seko, di Seko dan di rantau, dewasa ini, yang perlu menjadi keprihatinan kita semua.
Pertama, masalah sumber daya manusia yang terkait dengan mutu pendidikan. Sudah banyak SD di Seko, sudah ada 2 SMP negeri dan satu lagi dalam proses, satu SMU Negeri. Tetapi rata-rata pendidikan di sekolah-sekolah itu rendah sekali mutunya. Sebab-sebabnya antara lain kurang jumlah dan rendah mutu guru-gurunya; sarana/prasarana belajar yang sangat kurang, misalnya buku-buku bacaan tidak dipunyai guru-guru dan muid-murid atau siswa-siswa. Kalau ada buku-buku bacaan atau buku pelajaran yang tidak dipakai lagi, bisa dikumpulkan kepada kami untuk dikirim ke Seko.

Salah satu program yang sedang diatur Yayasan Ina Seko untuk bidang pendidikan adalah bantuan honorarium untuk beberapa guru SMA dalam bidang-bidang mata pelajaran yang sangat penting, yaitu: Biologi, Matematika dan Bahasa Inggeris. Perbulannya diperkiarakan dua juta rupiah. Kami akan mengumpulkan sumbangan untuk maksud itu, jadi mohon kerelaan Ibu/Bapak/saudara-saudara sekalian.

Pokok masalah yang kedua adalah sarana jalan, baik yang menghubungkan Rongkong dengan Seko maupun jalan antara kampung-kampung di Seko. Mudah-mudahan pemerintah secepatnya membangun jalan raya menghubungkan Seko dengan Rongkong maupun dengan Galumpang. Berbeda dengan masa lalu di mana perbaikan jalan raya menjadi tanggungjawab masyarakat setiap kampung, sekarang orang berharap saja pada pemerintah dengan proyek-proyeknya. Kalau masyarakat tidak mengambil tanggungjawab maka yang dirugikan adalah masyarakat kita sendiri. Para pemuka dan warga masyarakat Seko perlu dimotivasi untuk turut bertanggungjawab atas pemeliharaan jalan raya.

Pokok masalah yang ketiga adalah kerusakan lingkungan alam Tanah Seko. Tanah Seko indah, Namun sejumlah anak sungai makin berkurang airnya karena daerah-daerah resapan air di hulu sungai dan di sepanjang bantaran sungai dirusak oleh masyarakat sendiri. Hutan-hutan ditebang dijadikan kebun kopi, atau pohon-pohon kayunya ditebang untuk kayu bakar. Belum lagi kerusakan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan besar. Perlu usaha-usaha serius menghutankan kembali dengan menanam pohon-pohon. Selain program pemerintah, masyarakat juga harus terlibat dalam upaya itu, dimulai dengan penyadaran bahwa kalau masyarakat tidak menjaga kelestarian hutannya maka Tanah Seko akan gersang dan berakibat bencana dan kemiskinan. Sedangkan terpelihara, dampak rumah kaca pemanasan global telah mengakibatkan berbagai bencana di mana-mana.

Pokok masalah yang keempat adalah identitas masyarakat Seko. Pertama-tama, identitas Seko adalah kesatuan tiga bagian masyarakatnya: To Seko, To Padang, To Lemo, yang ibarat batu lalikan titanan tallu, terbedakan namun tak terpisahkan.

Selanjutnya, makin banyak warisan budaya asli Seko hilang, termasuk berbagai keseniannya. Hampir tidak ada lagi kesenian ma’baendon, molere, mohokke, atau molade. Dahulu orang Seko meniru kesenian modero dari Poso, tetapi dengan kreatif menciptakan sendiri syair-syair dero yang indah. Sekarang para pemuda modero dengan memakai kaset atau VCD/DVD lagu-lagu dero berbahasa Pamona/Poso yang hampir tidak ada yang mengerti apa isi syairnya. Itu suatu kemunduran. Harus ada usaha-usaha menghidupkan berbagai kesenian Seko di setiap kampung.

Identitas Seko juga makin kabur karena makin banyak orang Seko kawin dengan suku-suku lain. Anak-anak kita makin banyak yang tidak bisa bahasa daerah lagi, bahkan tidak mengenal Seko sama sekali. Rencana menerbitkan buku kumpulan karangan mengenai Seko adalah satu upaya kecil untuk memperkenalkan sejarah dan kebudayaan Seko kepada anak-anak kita.